Rabu, 29 Februari 2012

Varietas Unggul Singkong Raksasa



Di antara sekian banyak jenis singkong, barangkali singkong raksasa hasil temuan Abdul Jamil Ridho adalah jenis yang masih langka. Raksasa? Betul. Saat ditemui di Pameran Otonomi Daerah 2001 di JCC, Jakarta akhir Februari 2001 lalu, Niti Soedigdo, pengembang tanaman tersebut menceritakan bahwa singkong raksasa tersebut ditemukan setelah ulama asal lampung itu melakukan perenungan.

Kisahnya dimulai seusai melakukan dzikir panjang, lima tahun lalu, di tengah hutan Panaragan Jaya, Lampung Utara, Ridho, pengelola Pondok Pesantren Darul Hidayah di Kota Tulang Bawang, Lampung itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebatang tanaman. Sekilas, tanaman tersebut memang terlihat sama dengan singkong di kebunnya. Namun, begitu dicermati lebih dekat, tampak ada sedikit perbedaan. Lantaran penasaran, tanaman itu pun dicabut dari tanah. Ternyata diameter singkongnya lebih kecil dibanding singkong umumnya. Tetapi panjang umbinya mencapai satu meter per batang jalar dalam satu rangkaian umbi. “Subhanallah”, ucap Ridho spontan waktu itu.

Yakin bahwa tanaman itu bisa membawa berkah, ulama ini pun memutuskan untuk memboyong ke pondok pesantrennya. Di sanalah, singkong ‘aneh’ itu kemudian disulap menjadi singkong raksasa.

Oleh Niti Soedigdo, orang kepercayaan ulama tadi, singkong tersebut tak hanya ditanam, namun juga direkayasa dan dikembangkan lagi olehnya agar menghasilkan singkong raksasa. Caranya dikawinkanlah singkong unggul itu dengan singkong karet untuk mengembangkan ukuran umbinya. “Singkong ini saya sambung dengan singkong karet”, ungkap Niti Soedigdo.

Singkong karet adalah singkong yang tak bisa dimakan karena beracun. Namun untuk menghasilkan ukuran singkong yang dikehendaki, ternyata tidak mudah. Soedigdo mengaku butuh waktu hingga tiga tahun untuk bereksperimen. Dari panen pertama belum mencapai hasil itu, singkong persilangan itu ditanam lagi dan dilihat hasilnya. Itu pun belum mencapai hasil maksimal. Upaya ini dilakukan sampai tiga kali. Alhasil, dari generasi ketiga itulah singkong raksasa tersebut lahir.

Sukses melakukan percobaan, oleh Soedigdo, batang singkong raksasa pun mulai dikembangkan. “Pak Ridho setuju jika singkong ini dikembangkan”, ujarnya. Pria subur yang juga ketua umum Gabungan Koperasi Pertanian Serba Guna “Sumber Jaya”, Lampung ini dengan yakin menyatakan bahwa singkong jenis ini sehat sepenuhnya, meskipun hasil perkawinan dengan singkong beracun. “Itu sebabnya, ini termasuk temuan spektakuler”, aku Soedigdo. Pria berusia 65 tahun yang mengaku sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia singkong ini mengaku, bahwa selain sehat, singkong raksasa ini juga menguntungkan jika dikembangkan. Pasalnya dari jenis singkong unggulan terdahulu, semuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam proses tanamnya. Sementara, singkong hasil temuannya tidak terlalu menyedot biaya produksi.

Perhitungannya bisa dilihat dari hasil panen dalam tiap hektarnya. Contohnya, jenis singkong unggulan mukibat bisa menghasilkan 100 ton/hektar tiap panen. “Tapi ongkos tanamnya payah”, keluh pria kelahiran Surabaya yang menjadi transmigran spontan di Lampung ini. Soalnya, petani harus menggali sedalam satu meter dan juga dilakukan penempelan. Kesulitan seperti itu tidak ditemukan pada singkong yang oleh Soedigdo diberi nama “Singkong Darul Hidayah” ini. Bayangkan saja, sekali panen per hektarnya kita dapat 150 ton”, ujarnya. Sementara biaya penanamannya tidak mahal. Cukup 4 juta rupiah per hektarnya. “Itu pun sudah termasuk bibit dan pupuk selama masa tanam sekitar 8 – 11 bulan”, lanjutnya. Hasil ini terpaut jauh dengan hasil singkong biasa yang hanya 20 ton per hektar tiap panen. Sedangkan harga bibit singkong raksasa Darul Hidayah hanya Rp 150,- per setek dengan panjang 15 – 20 cm. “Bibit untuk satu hektar hanya 1,5 juta rupiah”, jelas Soedigdo.

Sekarang bibit singkong ini bisa diperoleh di koperasi yang dipimpin oleh Soedigdo. Tidak terasa, singkong ini pun populer sejak pertama kali diperkenalkan pada sebuah pameran di Jakarta tiga tahun lalu. Peminat dari berbagai daerah di Jawa, seperti Bandung, Surabaya, Malang dan Madiun, juga daerah di Sumatera seperti Medan dan Palembang ramai-ramai datang ke koperasi yang dipimpinnya.

“Bibitnya tidak boleh dikirim melalui paket, harus datang dan bawa sendiri”, saran Soedigdo. Kenapa? Harus demikian karena kepekaan bibit tersebut dengan suhu yang tidak stabil saat perjalanan. Jadi harus dijaga betul. Para pembeli pun diuntungkan karena mereka cukup sekali saja membeli bibit tersebut karena selanjutnya dikembangbiakkan sendiri.

“Orang Jerman waktu itu ingin sekali memborong semua bibit tapi nggak kami kasih”, ujar Soedigdo. Alasan utamanya adalah singkong terunggul di dunia ini (saat itu) belum jadi status hak patennya. Antusiasme orang Jerman itu kiranya cukup beralasan. Sebab menurut Soedigdo, sampai saat ini hanya singkong Darul Hidayahlah yang terbukti paling unggul. “Singkong ini termasuk jenis singkong konsumsi yang paling tinggi tingkat produktifitasnya”, katanya. Pria yang mendapat gelar doktor pada sebuah universitas di Amerika ini menambahkan bahwa kandungan zat dalam singkong tersebut sangat baik dengan ACI atau kadar padi 25-31 persen. “Lagipula enak juga dibikin keripik singkong”, tambahnya. (Dedhi Poernomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar